Beranda | Artikel
Fatwa Ulama: Hakikat Perdukunan dan Hukum Mendatangi Dukun
Jumat, 3 Maret 2023

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

 

Pertanyaan:

Fadhilatus syekh, apakah yang dimaksud dengan al-kihanah (perdukunan)?

Jawaban:

Al-kihanah (perdukunan) itu diambil dari al-kahn, yaitu menebak-nebak dan mencari hakikat sesuatu dengan perkara yang tidak ada dasarnya. Pada zaman jahiliyah, dukun adalah profesi seseorang yang menjalin hubungan dengan setan untuk mencuri berita dari langit, kemudian mereka pun menceritakan berita tersebut. Mereka mengambil berita (kalimat) yang mereka dengarkan (padahal kalimat yang mereka dapatkan dari langit itu adalah dengan perantara setan-setan tersebut), kemudian mereka tambah-tambahi dengan ucapan-ucapan yang lain, lalu mereka beritakan kepada manusia. Jika terjadi sesuatu sesuai dengan yang mereka katakan, manusia pun menjadi tertipu. Manusia pun menjadikan dukun sebagai tempat untuk memutuskan perkara di antara mereka dan juga untuk menyelamatkan diri dari perkara di masa datang. Oleh karena itu, kami katakan, dukun adalah orang yang mengabarkan tentang perkara gaib di masa datang.

Adapun orang yang mendatangi dukun itu ada tiga macam,

Pertama, mereka yang mendatangi dukun, bertanya kepada dukun, namun tidak membenarkannya. Perbuatan ini hukumnya haram. Hukuman untuk pelakunya adalah tidak diterima salatnya selama empat puluh hari. Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadis yang sahih riwayat Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

Siapa saja yang mendatangi dukun, kemudian bertanya kepadanya, maka salatnya tidak diterima selama empat puluh hari atau empat puluh malam.” (HR. Muslim no. 2230)

Kedua, mereka yang mendatangi dukun, bertanya kepada dukun, dan juga membenarkannya. Ini adalah kekafiran terhadap Allah Ta’ala, karena membenarkan dukun yang mengklaim mengetahui perkara gaib. Perbuatan membenarkan ucapan manusia yang mengabarkan perkara gaib itu termasuk perbuatan mendustakan firman Allah Ta’ala,

قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ

Katakanlah, ‘Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah.:” (QS. An-Naml: 65)

Mendustakan berita dari Allah dan Rasul-Nya adalah kekafiran. Oleh karena itu, terdapat dalam hadis yang sahih,

مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

Barangsiapa mendatangi dukun, lalu membenarkan apa yang diucapkannya, maka ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639)

Ketiga, mendatangi dukun dan bertanya kepadanya, untuk menjelaskan hakikat dukun kepada masyarakat, dan untuk menjelaskan bahwa apa yang dia lakukan itu adalah perdukunan, penipuan, dan kesesatan. Perbuatan semacam ini diperbolehkan.

Dalilnya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpapasan atau bertemu dengan Ibnu Shayyad, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyembunyikan sesuatu untuknya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya, apa yang beliau sembunyikan. Ibnu Shayyad menjawab, “Asap.” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اخْسَأْ فَلَنْ تَعْدُوَ قَدْرَكَ

Menyingkirlah, Engkau tidak akan melampaui kemampuanmu.” (HR. Bukhari no, 6173 dan Muslim no. 2925)

Ini adalah tiga kondisi orang yang mendatangi dukun, yaitu mendatangi, dan bertanya kepadanya tanpa membenarkan, dan tanpa ada niat untuk mengetes dan mengungkap praktek perdukunannya. Hal ini haram, dan hukumannya adalah tidak diterima salatnya selama empat puluh hari. Kedua, mendatangi dan membenarkannya. Ini adalah kekafiran kepada Allah Ta’ala. Wajib bagi manusia untuk bertobat dari perbuatan tersebut dan kembali kepada Allah Ta’ala. Jika tidak, maka dia mati di atas kekafiran. Ketiga, mendatangi, bertanya kepadanya, dengan maksud untuk menguji (mengetes), dan menjelaskan kondisinya kepada manusia, maka hal ini tidak mengapa.

Baca Juga: Angka Keramat

***

@GAIA Cosmo Jogja, 6 Sya’ban 1444/ 26 Februari 2023

Penerjemah: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Diterjemahkan dari kitab Fiqhul Ibadaat, hal. 64-65, pertanyaan no. 32.


Artikel asli: https://muslim.or.id/83243-hukum-mendatangi-dukun.html